Minggu, 28 Agustus 2016

TENUN IKAT SEKOMANDI'

SEKOMANDI'



Sekomandi' adalah salah satu tenun ikat dengan motif tertua di Indonesia, merupakan tenunan khas daerah Rongkong - Seko dan Kalumpang. Sekomandi' berasal dari dua kata, yaitu "Seko" yang berarti persaudaraan atau kekeluargaan atau rumpun keluarga, dan "Mandi'" yang berarti kuat atau erat. Sehingga Sekomandi' dapat dimaknai sebagai "Ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang kuat dan erat".

Berdasarkan data yang diperoleh dari tutur, cerita/legenda salah seorang penenun yang masih tetap melakoni dan melestarikan Tenunan Sekomandi' di Kalumpang, menyatakan bahwa Sekomandi' awalnya ditemukan oleh nenek moyang orang Kalumpang dari Dusun Lebani bernama "Undai Kasalle" yang sedang berburu di hutan. Ketika berburu dalam hutan, anjing Undai Kasalle berhenti disebuah mulut gua lalu berlari masuk kedalam gua tersebut. Melihat hal tersebut, Undai Kasalle ikut masuk kedalam gua dan menemukan selembar daun besar yang sekilas terlihat seperti ular besar dengan motif yang aneh. Kemudian daun tersebut dibawa pulang dan diperlihatkan kepada istrinya, seketika itu pula istrinya jatuh pingsan lalu kesurupan. Dalam keadaan tidak sadar itulah, istri Undai Kasalle mendapatkan "Ilham" tentang cara membuat Tenunan Sekomandi'. Setelah sadar, istri Undai Kasalle mulai melakukan apa yang diilhamkan kepadanya, dia mulai memintal benang dari kapas lalu membuat pewarna dari campuran beberapa macam tanaman, kemudian merendam benang tersebut kedalam pewarna selama beberapa hari. Kejadian kesurupan ini terus berulang beberapa kali sampai tercipta sebuah Tenunan Sekomandi'.

Sekomandi' sampai saat ini masih tetap dibuat secara tradisional oleh pengrajin dengan menggunakan benang yang dipintal dari kapas dan bahan pewarna alami dari campuran ramuan seperti kemiri, akar mengkudu, daun tarum, lengkuas, kunyit, kapur sirih, pinang, abu dari kayu pallin dan beberapa kayu hutan. Yang paling khas dari bahan pewarna yang digunakan adalah cabe, sehingga dalam pembuatan pewarna sampai kain yang dihasilkan masih terasa hangat dari cabe.

Bahan Pewarna

Proses pembuatan kain tenun Sekomandi' terdiri dari beberapa tahapan, yaitu :

1. Proses Pemintalan Benang
Proses ini diawali dengan membersihkan kapas dari biji dan kotoran yang menempel, kemudian dipintal hingga terbentuk helaian benang yang halus dan bersih.


 proses pemintalan 

2. Proses Pewarnaan
Setelah pemintalan kapas menjadi benang, kemudian dilakukan proses pencelupan benang kedalam pewarna selam beberapa hari lalu benang dibentangkan. Proses pewarnaan ini memakan waktu selama kurang lebih sebulan sampai diperoleh warna yang diinginkan.

3. Proses Pengikatan
Setelah diperoleh benang berwarna, benang lalu diikat perkelompok yang masing-masing sekitar 10 (sepuluh) helai benang. Kemudian benang mulai dibentuk sesuai pola atau motif yang diinginkan dengan menggunakan teknik pengikatan benang pada alat yang disebut "Kaliuran" yang terbuat dari kayu atau bambu. Fungsi Kaliuran yaitu untuk menahan benang pada saat pengikatan agar benang tetap rapih setelah diikat sesuai motif atau corak kain.


 Proses Pengikatan Benang

4. Proses Penenunan
Penenunan merupakan proses terakhir dari pembuatan Sekomandi', dimana setelah benang  diikat dan membentuk motif, kemudian benang ditenun hingga terbentuk kain Sekomandi'. Proses penenunan ini dapat berlangsung selama beberapa bulan bahkan sampai satu tahun, sesuai tingkat kesulitan dan lebar kain yang diinginkan.


 Proses Penenunan

Saat ini terdapat sekitar 15 (lima belas) motif asli Tenunan Sekomandi' yang masih dibuat atau diproduksi oleh pengrajin, khususnya pengrajin Tenunan Sekomandi' di Kalumpang, yaitu :
1. Ba'ba Deata (Ulu Karua Barinni)
 Ini merupakan motif pertama yang dibuat oleh pengrajin Tenunan Sekomandi' dan bermakna kesatuan dari rumpun keluarga.

2. Ba'ba Deata (Ulu Karua Kasalle)

3. Lele' Sepu' Sapalli'

4. Tosso Balekoan Ibarra'i

5. Tonoling Sapali'

6. Pori Kokkok

7. Toboalang

8. Ulu Karua Ibarra'i

9. Tonoling Ibarra'i (Mari Lotong)

10. Lele' Sepu' Ibarra'i (Mari Lotong)

11. Pori Situtu' (Mari Lotong)

12. Rundun Lolo

13. Bukka-Bukkang

14. Pori Dappu
 Ini merupakan motif yang paling sulit ditenun karena memerlukan tingkat ketelitian dan kecermatan yang tinggi. Proses penenunannya pun hingga bertahun-tahun.

15. Pori Kokkok (Mari Lotong)
 Motif ini digunakan oleh rakyat biasa, hanya terdiri dari 2 (dua) warna, yakni putih dan hitam.


Dari semua motif tersebut diatas, beberapa merupakan khas yang digunakan di Rongkong - Seko, antara lain : Lele' Sepu', Pori Kokkok, Ulu Karua, Pori Situtu, Rundun Lolo dan Pori Dappu.




NB. Terimakasih kepada Sdri. Andi Aulia Syahbani Kurdi Sila atas input literaturnya.

Rabu, 01 Juli 2015



Prosesi Pengukuhan (Ma'Patongko) Tomakaka Beroppa Kec. Seko


Tomakaka Beroppa (Seko Lemo)




























Rumpun keluarga yang diwakili oleh Adat Pitu (Adat tujuh), terdiri atas To Siaja', Matua, Pongngarong, Sando Ulu, Sando Tangnga, Sando Lolo', Tobarani, dan ditambah dengan Adat Tallu (Adat Tiga), yaitu Pa'riva Sangka, Palasa Longkon, dan Pelepong Kambuno, melakukan musyawarah keluarga untuk memilih dan menetapkan siapa diantara putra-putra Tomakaka atau putra turunan Tomakaka yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai Tomakaka.

Setelah rumpun keluarga menetapkan nama calon Tomakaka, maka To Siaja' mengumpulkan semua Perangkat Adat, Tokoh Adat, Tokoh Agama dan Pemerintah, untuk melaksanakan musyawarah adat dan mengumumkan nama calon Tomakaka yang telah disepakati keluarga. Kemudian ditetapkan selama   2 (dua) tahun untuk melihat hasil pertanian masyarakat adat (Dipasitanda Tanah). Jika selama 2 (dua) tahun panen masyarakat adat bagus, maka To Siaja' menyusun prosesi pengukuhan (Ma' Patongko) Tomakaka dengan cara membentuk panitia pengukuhan dan menyusun susunan acara pengukuhan serta menetapkan hari dan tanggal pengukuhan, kemudian menyampaikan kepada seluruh masyarakat adat untuk hadir dalam menyaksikan proses pengukuhan Tomakaka tersebut.

Dalam proses Ma'Patongko Tomakaka, sebelum dikukuhkan dibacakan Basse Kada, kemudian Pernyataan Dewan Adat Seko Lemo yang diwakili oleh Adat Tallu (Pa'Riva Sangka, Pelepong Kambuno dan Palasa Longkon). Dan kemudian penandatanganan Berita Acara Pengukuhan.

Setelah selesai Pengukuhan, maka pada tanggal 27 Januari 2009, Datu Luwu mengeluarkan Surat Mandat Nomor : 01-S/SEKR-LAKL/2009, Tentang pemberian mandat kepada Barnabas Daso Tandi Paewa untuk menyelenggarakan tugas-tugas sebagai Tomakaka Beroppa/Seko Lemo di Wilayah Adat Seko Kabupaten Luwu Utara.





Sabtu, 30 Mei 2015

LEMBAGA ADAT BEROPPA' KECAMATAN SEKO



LEMBAGA ADAT BEROPPA’.


Pada awalnya saat Tomakaka Ne’ Paewa bersama kedua adiknya beserta keluarga masing-masing tinggal menetap di Buntu Manyaman (Beroppa’), maka saat itu secara otomatis terbentuk suatu Lembaga Adat, karena dari Kanandede masing-masing telah dikukuhkan dalam Jabatan Adat. Dimana Ne’ Paewa sebagai Tomakaka, Ne’ Karoro’ sebagai Matua Tondok, dan Ne’ Kujan sebagai Pongngarong.
Setelah Tomakaka Ne’ Paewa, Matua Karoro’ dan Pongngarong Kujan masing-masing memiliki keturunan (beranak-cucu), maka jabatan Tomakaka, Matua Tondok dan Pongngarong dilimpahkan kepada cucu masing-masing, dan dilengkapi dengan jabatan adat lainnya, yaitu : To Siaja’, Sando Ulu, Sando Tangnga, Sando Lolok dan Tobarani (Panglima Perang).
Dalam Masyarakat Adat Beroppa, perangkat-perangkat adat yang terdiri dari Matua Tondok, Pongngarong, Tosiaja’, Sando Ulu, Sando Tangnga, Sando Lolok, dan Tobarani disebut Adat Pitu (Adat Tujuh). Kemudian ditambah dengan Pa’riva Sangka, Palasa Longkon dan Pelepong Kambuno, yang disebut Adat Tallu (Adat Tiga).
Dalam Lembaga Adat Beroppa’, jabatan-jabatan adat memiliki tugas dan kewajiban masing-masing, dimana Tomakaka merupakan pimpinan tertinggi dan pengambil keputusan tertinggi dalam masyarakat adat Beroppa’, sedangkan Matua Tondok, Pongngarong, Tosiaja, Sando Ulu, Sando Tangnga, Sando Lolok dan Tobarani merupakan menteri-menteri kelembagaan adat. Adapun tugas dan kewajiban masing-masing antara lain :

A.     Tomakaka
Merupakan pimpinan tertinggi dan atau pengambil keputusan tertinggi dalam masyarakat dan kelembagaan adat Beroppa’. Dimana jabatan tomakaka sendiri tidak mempunyai batasan waktu atau masa jabatan, karena jabatan Tomakaka adalah seumur hidup (Pe bua’ pi unpasira’ki). Sebelum Tomakaka meninggal dunia, jabatan Tomakaka dilimpahkan kepada anaknya yang dianggap memenuhi kriteria. Jabatan Tomakaka tidak dipilih oleh masyarakat umum, tetapi dipilih dan ditentukan oleh rumpun keluarga. Setelah ditetapkan oleh keluarga, kemudian dikukuhkan (dipatongko) dan kemudian disaksikan oleh masyarakat dalam prosesi pengukuhan. Hal ini disebabkan karena jabatan Tomakaka adalah warisan dari leluhur Tomakaka sebelumnya atau pendahulunya secara turun temurun.
Pengangkatan seorang keturunan Tomakaka untuk menjadi Tomakaka harus melalui proses sebagai berikut :
1.    Rumpun keluarga yang diwakili oleh Adat Pitu, yakni To Siaja’, Matua, Pongngarong, Sando Ulu, Sando Tangnga, Sando Lolok dan Tobarani, serta ditambah dengan Adat Tallu, yakni Pa’riva Sangka, Palasa Longkon dan Pelepong Kambuno, melakukan musyawarah keluarga untuk memilih dan menetapkan siapa diantara putra-putra Tomakaka atau putra turunan Tomakaka yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai calon Tomakaka.
2.    Setelah rumpun keluarga menetapkan nama calon Tomakaka, maka To Siaja’ mengumpulkan semua Perangkat Adat, Tokoh Adat, Tokoh Agama dan Pemerintah setempat untuk melaksanakan musyawarah adat dan mengumumkan nama calon Tomakaka yang telah disepakati keluarga. Kemudian ditetapkan selama 2 (dua) tahun untuk melihat hasil pertanian masyarakat adat (Dipasitanda Tanah). Jika selama dua tahun panen masyarakat adat bagus, maka To Siaja’ menyusun prosesi pengukuhan (Ma’ Patongko) Tomakaka dengan cara membentuk Panitia Pengukuhan, menyusun agenda acara pengukuhan, kemudian menetapkan hari dan tanggal pengukuhan, serta menyampaikan kepada seluruh masyarakat adat agar hadir dan menyaksikan pengukuhan Tomakaka tersebut.
Adapun kriteria seorang keturunan dapat diangkat sebagai Tomakaka adalah :
1.    Mempunyai garis keturunan lurus dari Tomakaka sebelumnya dan harus turunan dari laki-laki
2.    Seorang yang tegas, komitmen, mampu bersikap adil, serta mampu menjaga dan melindungi wilayah adat beserta masyarakatnya.
3.    Memiliki wawasan yang luas menyangkut Adat Istiadat, Lembaga Adat, Hukum Adat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.    Memiliki ekonomi yang cukup
5.    Mampu memecahkan masalah dan mencari solusi
6.    Memiliki perilaku kehidupan yang baik, tidak sombong, tidak egois dan harus bermasyarakat.
Tugas dan Kewajiban seorang Tomakaka adalah sebagai berikut :
1.    Mengangkat dan memberhentikan perangkat adat, antara lain : Matua Tondok, To Siaja’, Pongngarong, Sando Ulu, Sando Tangga, Sando Lolok dan Tobarani.
2.    Mengarahkan, membina, mengawasi, dan memonitor pelaksanaan tugas masing-masing perangkat adat.
3.    Melindungi wilayah adat (Tanah adat) dan masyarakat adat
4.    Menyampaikan dan atau menyalurkan aspirasi masyarakat hukum adatnya kepada pemerintah.
5.    Mewakili masyarakat hukum adatnya dibidang politik, ekonomi, sosial budaya, maupun dibidang pengembangan dan pelestarian adat istiadat, seni budaya, serta lembaga adat, baik ditingkat Kabupaten, Propinsi, maupun ditingkat Pusat.
6.    Melaksanakan Musyawarah Adat sesuai kebutuhan
7.    Menjatuhkan sanksi adat melalui sidang adat kepada Perangkat Adat dan Masyarakat Hukum Adat yang melanggar hukum adat diwilayahnya.
8.    Melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan Sumber Daya Alam, antara lain Tanah Adat, Hutan Adat dan Hutan yang dikeramatkan.
9.    Membuat dan menerapkan aturan adat beserta sanksi-sanksinya, tentang masyarakat adat yang ingin memasuki hutan adat dan mengambil hasil hutan berupa kayu, rotan, dan hasil hutan non kayu lainnya, serta aturan-aturan tentang memasuki hutan yang dikeramatkan.

B.     Matua Tondok
Adalah orang yang dituakan didalam kampung, dan mempunyai tugas sebagai berikut :
1.    Menangani tentang keteraturan, ketertiban, keamanan dan ketenteraman masyarakat hukum adat di wilayahnya.
2.    Mempersiapkan dan melaksanakan Sidang Adat.

C.     To Siaja’
Adalah penasehat Tomakaka dengan tugas-tugas sebagai berikut :
1.    Mengatur dan menyusun prosesi pengukuhan Tomakaka
2.    Mempersiapkan dan melaksanakan Sidang Adat
3.    Sebagai perpanjangan tangan Tomakaka dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku yang melanggar Hukum Adat

D.    Pongngarong
Adalah juga sebagai Menteri Pertanian dalam Kampung, dengan tugas-tugas sebagai berikut :
1.    Menangani seluruh usaha yang menyangkut kebutuhan kehidupan Masyarakat Adat
2.    Melaksanakan Upacara Adat setiap Turun Sawah atau sebelum menghambur beni (Mangambo’), yang dilaksanakan di rumah kediaman Pongngarong sendiri
3.    Melaksanakan Upacara Adat pada awal musim tanam padi dan pada waktu selesai panen (Syukuran Panen).

E.    Sando
Sando yang terdiri dari Sando Ulu, Sando Tangga dan Sando Lolok mempunyai tugas sebagai berikut :
1.    Mendinginkan suasana atau mendinginkan kampung, artinya bahwa didalam kampung tidak boleh ada pertengkaran dan perpecahan baik didalam rumah tangga maupun masyarakat adat secara keseluruhan.
2.    Melaksanakan dan memimpin Upacara Adat “Ma’pacakke’ Wanua” (Mendinginkan Rumah), dengan tujuan agar orang yang tinggal dalam rumah tersebut dapat hidup damai, tenteram dan bahagia.
3.    Melaksanakan dan memimpin Upacara Adat “Ma’pacakke Uai” (Menyucikan Air), dimana air bagi masyarakat adat sebagai sumber kehidupan yang perlu dijaga dan dilestarikan.

F.    Tobarani
Adalah panglima perang yang bertanggung jawab dalam :
1.    Menjaga keamanan masyarakat adat
2.    Melindungi masyarakat adat dari gangguan dan atau serangan musuh dari luar.

Adapun susunan Tomakaka Beroppa sejak awal berdirinya sebagai satu kelompok masyarakat hukum adat hingga mendapat gelar dan pengakuan sebagai Tanduk Matata’na Seko dan sebagai Kadatuan Sa lian Buntu sampai sekarang adalah sebagai berikut :
 
PAEWA PATY GANNA TONGE’ LANGI (TOMAKAKA NE PAEVA)
 TANDUK MATATA’NA SEKO


TOMAKAKA PAO’TONAN (NE’ SIDARA)


TOMAKAKA KALOSI PATTY GANNA


TOMAKAKA MAMPO (KALAMBO)


TOMAKAKA BARNABAS DASO’ TANDI PAEWA

Keterangan :
Awalnya Tomakaka Ne’ Paewa yang adalah anak sulung dari Tomakaka Pong Lumombong atau Ne’ Malotong (Tomakaka Kanandede), dikukuhkan menjadi Tomakaka di Kanandede, kemudian beliau bersama kedua adiknya meninggalkan Kanandede memenuhi amanat dari Almarhum neneknya (Tomakaka Pontoala) mencari kawasan tempat biji besi sakti untuk pemukiman. Dan akhirnya menemukan sebuah lokasi yang diberi nama Buntu Manyaman kemudian berubah nama menjadi Beroppa’. Setelah membeli tanah dari Tobara Kalaha dan Tobara Kalumpang yang menjadi batas wilayah kekuasaannya akhirnya mereka hidup berkembang dan beranak cucu dan membentuk komunitas masyarakat hukum adat sendiri.
Dalam perjalanannya, terjadi perang dimana orang Kalumpang dan orang Kulawi atau Kerajaan Kunyi’ datang menyerang dan membumihanguskan perkampungan di Hoyane, Pohoneang, Kalaha sampai ke Amballong. Sehingga masyarakatnya lari mengungsi dan meminta bantuan ke Tomakaka Ne’ Paewa di Beroppa’. Akhirnya Tomakaka Ne’ Paewa memimpin peperangan dan berhasil memenangkannya sehingga lahirlah nama Seko dan Tomakaka Ne’ Paewa yang mewakili To Beroppa’ (Seko Lemo) mendapat gelar Tanduk Matatana Seko.
Tomakaka Ne’ Paewa setelah menikah mempunyai dua orang putra, yaitu Ne’ Sissang dan Ne’ Bunga. Kemudian Ne’ Sissang mempunyai putra yang diberi nama Sissang, Paotonan (Ne’ Sidara), dan Ne’ Lottong.
Paotonan (Ne’ Sidara) kemudian dikukuhkan menjadi Tomakaka Beroppa’. dan setelah Tomakaka Paotonan menikah yang pertama dengan perempuan bernama Ma’tan, memiliki keturunan antara lain : Kalosi Patty Ganna’, Kampusu, Matangke dan Kadavang.
Kemudian Tomakaka Paotonan menikah lagi dengan perempuan dari Lemo Tua yang bernama Siru’ atau Indo Lumisu, memiliki keturunan antara lain : Tibian, Mauna’ (Indo Arrena), Akkena, Menjilak Pasombo dan Paujung.
Akhirnya Kalosi Patty Ganna’ dikukuhkan menjadi Tomakaka Beroppa’. Setelah menikah dengan perempuan dari Kalaha (Anak Tobara Makara’) yang bernama Soena, kemudian mempunyai keturunan antara lain: Tandi Patty Ganna, Balundu’ Patty Ganna, Samben Patty Ganna, dan perempuan Ka’du’ Patty Ganna. Dari keempat putra-putri Tomakaka Kalosi Patty Ganna, salah seorang tidak mempunyai keturunan (Tamanang), yaitu Tandi Patty Ganna.
Kemudian Balundu Patty Ganna menikah, yang pertama dengan seorang        
perempuan yang disapa Indo’ Se’se, memiliki keturunan antara lain : 
Se’se   dan Lose. 
Se’se kemudian menikah yang pertama dengan seorang perempuan bernama Lu’pik dan memiliki turunan bernama Indo’ Ampalla’ (Indo Nesi); menikah kedua dengan seorang perempuan …………, memiliki keturunan bernama Manuvu’ (Ambe’ Sipantun); menikah ketiga dengan seorang perempuan …………, memiliki keturunan bernama Kura (Indo’ Marata); menikah keempat dengan seorang perempuan …………, memiliki keturunan seorang perempuan bernama Sandamaiiri’; dan menikah kelima dengan seorang perempuan dari Manganan (Pa’riva Sangka) dari Rongkong, memiliki keturunan bernama Daso’ Patty Ganna. Kemudian Daso Patty Ganna menikah dengan seorang perempuan, anak dari Pongngarong Arrena, bernama Marya Sune’ Sandamaiiri’, memiliki keturunan antara lain : Made Daso’ Tandi Paewa, Yusuf Daso’ Tandi Paewa, Mathias Tandi Paewa, Barnabas Daso’ Tandi Paewa, perempuan Adilfina Daso’ Tandi Paewa, perempuan Ruth Daso’ Tandi Paewa, dan Mathius Daso’ Tandi Paewa.
Lalu Balundu Patty Ganna menikah lagi dengan seorang perempuan dari Buka, bernama Bangkara dan memiliki seorang putra bernama Mampo (Kalambo).
Mampo (Kalambo) kemudian dikukuhkan menjadi Tomakaka Beroppa setelah mendapat pelimpahan (Dipatilevakki) Katomakaan dari neneknya Tomakaka Kalosi Patty Ganna.
Setelah itu selama kurang lebih 100 Tahun lamanya, Masyarakat Adat Seko tidak memiliki Tomakaka yang disebabkan adanya pemberontakan Gerombolan DI/TII di Seko pada Tahun 1953, mengakibatkan masyarakat adat Seko harus mengungsi ke daerah Karataun (Makki) dan Ledo Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju.
Tomakaka Kalambo meninggal di Salu Alo, Makki pada Tahun 1957. Dan setelah beliau meninggal, maka atas kesepakatan tokoh-tokoh masyarakat Beroppa’ (Seko Lemo), mengangkat Ambe’ Bambalu sebagai Matua Tondok.
Atas perjuangan keras Tokoh-tokoh masyarakat Beroppa’ (Seko Lemo) bersama pemuda dan OPR, akhirnya orang Seko yang dipengungsian dapat kembali ke Seko yang dimulai pada tahun 1961, dimana masyarakat Seko yang tadinya tinggal di Masoso, kembali ke Rantedanga’ dan masyarakat Seko yang lain dipengungsian pun berangsur-angsur kembali ke Seko dengan membuat syukuran kampung pada tahun 1962 di Rantedanga’. Hingga pada Tahun 1971 setelah TNI bersama OPR Seko melakukan operasi pembersihan sampai ke Doe dan tempat-tempat lainnya, dan atas penyerahan diri beberapa pimpinan Gerombolan di Seko, maka Seko dinyatakan benar-benar sudah aman.
Pada tahun 2007, melalui musyawarah dari Tokoh-tokoh masyarakat Adat Seko, dan juga termasuk beberapa Tokoh Masyarakat dari Rongkong, maka oleh To Siaja’  TIBIAN (LOTONG LILA / GANDANG MANURUN) mempersiapkan dan melaksanakan prosesi pengukuhan (Ma’patongko) Barnabas Daso’ Tandi Paewa sebagai Tomakaka Beroppa’.
Demikian tulisan singkat tentang kelembagaan adat Beroppa’ di kecamatan Seko.

Selasa, 26 Mei 2015

SEJARAH LAHIRNYA NAMA “SEKO”



SEJARAH LAHIRNYA NAMA “SEKO”



Pada sekitar Tahun 1800 Masehi, perang Kerajaan kembali pecah, dimana Kerajaan Luwu diserang oleh Kerajaan-Kerajaan sekelilingnya. Luwu akhirnya kalah perang dari Kerajaan Kunyi’ Sulawesi Tengah, sehingga Datu Luwu menjual beberapa wilayah kerajaan ke Kerajaan Kunyi’, antara lain : Beroppa, Pewanean, Wono, Rampi dan Mangkutana. Akhirnya setiap tahun wilayah-wilayah tersebut membayar upeti ke Kerajaan Kunyi’.
Orang Beroppa’ (Sekarang Seko Lemo), Pewanean (Sekarang Seko Tengah) dan To Wono (Sekarang Seko Padang), membayar upeti berupa ternak “Kerbau”. Orang Rampi membayar upeti berupa emas. Sedangkan Orang Mangkutana membayar upeti berupa tenaga manusia yang dipekerjakan sebagai buruh tani, berkebun dan bekerja di sawah.
Setelah hal ini berlangsung selama kurang lebih sepuluh tahun, Tomakaka Beroppa’ Ne Paewa merasa resah dan gelisah, dimana masyarakatnya setiap tahun harus membawa sejumlah  Kerbau ke Kerajaan Kunyi’ Sulawesi Tengah. Maka pada waktu itu Tomakaka Ne’ Paewa memutuskan untuk mengangkat perang terhadap Kerajaan Kunyi’.
Dalam peperangan dengan Kerajaan Kunyi’, Tomakaka Ne’ Paewa bersama pasukannya mengalami kesulitan dalam menemukan lokasi kediaman Raja Kunyi’. Hingga suatu ketika tiba-tiba ada bayangan seekor Kerbau Belang (Saleko) melintas didepan Tomakaka Ne’ Paewa menuju suatu Lembah dibawah tiuga sebuah gunung. Maka Tomakaka Ne’ Paewa bersama pasukannya mengikuti bayangan Kerbau tersebut, dan ternyata bayangan itu mengantarkan mereka menemukan lokasi tempat Raja Kunyi’ berada. Sehingga dilakukanlah penyerangan secara besar-besaran dan Raja Kunyi’ pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena pasukannya habis terbunuh. Melihat situasi seperti itu, Raja Kunyi’ memberikan kode kepada Tomakaka Ne’ Paewa sebagai tanda mengaku kalah. Saat itulah Raja Kunyi’ memohon kepada Tomakaka Ne’ Paewa agar antara mereka dapat saling “Si Seko”, yang artinya “Saling mengikat tali persaudaraan serta akan hidup berdampingan dengan aman, damai dan tenteram. Tawaran Raja Kunyi’ tersebut diterima baik oleh Tomakaka Ne’ Paewa sehingga sejak saat itulah muncul nama “Seko”, artinya : “Bersahabat, bersaudara, dan berkawan. Dan sampai saat ini, nama tersebut tetap digunakan sebagai nama wilayah “Seko (Kecamatan Seko)”.
Sejak dikalahkannya Kerajaan Kunyi’ oleh Tomakaka Ne’ Paewa bersama pasukannya, maka semua wilayah Kerajaan Luwu yang telah dijual kepada Raja Kunyi’, dinyatakan “Merdeka”. Atas kemerdekaan yang diraih tersebut, Maka Seko tidak lagi membayar upeti baik kepada Raja Kunyi’ maupun kepada Datu Luwu. Dan sejak saat itu, Seko disebut sebagai “Kedatuan Sa lian Buntu”, sehingga dalam setiap acara dan proses adat Kedatuan Luwu, Tomakaka Beroppa’ yang juga sebagai Tomakaka Lompo Seko, hadir dalam acara tersebut sebagai Tamu Kehormatan. Sedangkan Rampi dan Mangkutana masih tetap membayar upeti kepada Datu Luwu karena kembali menjadi wilayah kekuasaannya.