SEJARAH SEKO
(ASAL – USUL ORANG SEKO)
I. KANANDEDE
Pada awalnya, Puang Tanduk Pirri’ berangkat dari Hulu Sungai Sa’dan turun ke
Tanah Luwu dan tinggal di Lemo tua, tepatnya kampung “Pasang”. Puang Tanduk
Pirri’ menikah dengan seorang perempuan dari Kerajaan Bua (saudara perempuan
Raja Bua, bernama ……………). Setelah beberapa tahun tinggal di Pasang Lemo Tua,
Puang Tanduk Pirri’ mendirikan sebuah rumah Tongkonan yang diberi nama
“Tongkonan Kadinginan”.
Bahwa dari Tongkonan Kadinginan, lahir 2
(dua) orang putra, masing-masing bernama :
1. Puang Lalong
2. Arung Langi’
Setelah Lalong dewasa, menikah dengan seorang
perempuan bernama …………, saudara perempuan dari (Pajung
Luwu), yang kemudian melahirkan anak:
1. Lalo’Lalo’
2. Sendana Lalong.
Setelah kedua putra Lalong dewasa,
masing-masing menikah. Lalo’Lalo’ menikah dengan perempuan bernama …………. dan
bertempat tinggal di Patila, menguasai Wilayah bagian Timur, Wilayah Tenggara
dan bahagian Wilayah Utara. Sedangkan Sendana Lalong menikah dengan seorang
perempuan bernama …………., saudara perempuan dari Patti Ware’ Dg. Parabbung (Pajung
Luwu XIV), dan menguasai Wilayah Selatan, Barat dan sebahagian Wilayah Utara.
Dalam kisah perjalanannya, dimasa perang
Kerajaan, Lalong sangat berjasa bagi keutuhan wilayah Kedatuan Luwu, dimana
Lalong berhasil mengalahkan Raja Tompo Tika’ Luwuk Banggai yang bernama
Tariando beserta pengawalnya Sipantu’ sehingga berhasil merebut kembali
sebahagian wilayah Tanah Luwu yang telah dikuasai oleh Raja Tompo Tika’ Luwuk
Banggai tersebut. Atas jasa Lalong, Datu Luwu memberikan hadiah tanah yang
luasnya ditentukan oleh Lalong sendiri dengan menggunakan sumpit (Bulia)
beserta 3 (tiga) anak sumpit, dengan cara menyumpit ketiga arah dengan
menggunakan kekuatan nafas. Anak sumpit pertama jatuh melewati daerah Rampi,
anak sumpit kedua jatuh di Tenggara (Lasuak-suak), dan anak sumpit ketiga jatuh
melewati Polmas.
Setelah Lalong meninggal dunia, anak-cucu
masing-masing mendirikan wilayah kekuasaan dan mengembangkannya.
Anak
sulung dari Sendana Lalong yang
bernama Pontoala’ berusaha mencari
tempat strategis untuk pertahanan karena mempertimbangkan perang Kerajaan yang
masih tetap akan berlangsung. Pontoala’ bergeser
dari G. Tarue’ ke Lena, kemudian beberapa lama di Lena lalu berpindah ke Buka,
dan akhirnya berpindah ke Kanandede.
Setelah mendirikan kampung Kanandede,
keluarga Pontoala’ berkembang dan
memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke G.Sandapang, Aralle daerah Mamuju. Pontoala’ menikah dengan seorang
perempuan bernama ………… dan memiliki 2 (dua) orang putra. Anak pertama bernama Pong Lumombong yang kemudian populer
disapa Ne’ Malotong karena semua
kuku jari, kaki dan lidah berwarna hitam. Sedangkan anak kedua bernama Ne’ Marua.
Setelah Pong
Lumombong (Ne’ Malotong) menikah, beliau diangkat dan dikukuhkan sebagai Tomakaka Kanandede, dan beliau pun
memperluas wilayah kekuasaannya. hingga kemudian perang Kerajaan kembali pecah.
Dimana Raja dari Tompo Tika’ Luwu Banggai kembali menyerang ke Luwu sesuai
perjuangan leluhurnya terdahulu yaitu Raja Tompo Tika’ Tariando. Dalam perang
tersebut, Tomakaka Ne’ Malotong memimpin
pasukan dan berhasil memenangkan peperangan dan mempertahankan keutuhan wilayah
Luwu hingga beliau pun kembali ke Kanandede.
Pada zaman Tomakaka Ne’ Malotong, Luwu belum mempunyai seorang Raja karena
kalah perang, sehingga Tomakaka Ne’
Malotong mengusulkan kepada Raja-Raja di Sulawesi Selatan agar Raja Luwu
dapat diangkat dan dikukuhkan kembali, karena sudah 7 (tujuh) generasi Luwu
tidak memiliki Raja. Atas usulan Tomakaka
Ne’ Malotong tersebut, maka Raja-Raja di Sulawesi Selatan berkumpul dan
membicarakan hal ini dan bersepakat mengabulkan usulan Tomakaka Ne’ Malotong, dengan memberikan 3 (tiga) persyaratan
kepada beliau.
1. Memasak
Balajan (sejenis tanaman liar yang merambat dan biasa dijadikan tali) menjadi
daging yang utuh
2. Memasak
Tanduk Kerbau menjadi daging
3. Mengetahui
jumlah biji Timun Dike’ (mentimun/bonte).
Tomakaka Ne’ Malotong pun
berhasil memenuhi ketiga persyaratan tersebut dan akhirnya diangkatlah Datu
Luwu yang baru sehingga kerajaan Luwu pun kembali memiliki Raja dan Tomakaka
Ne’ Malotong kembali ke Kanandede.
Selama kepemimpinan Datu Luwu yang baru,
terjadi pergolakan dalam keluarga Kerajaan, dimana salah seorang saudara Datu
berkhinat dan memihak ke Raja Bone, sehingga Raja Bone berhasil merampas
“Sarung Malea” yang merupakan tanda kebesaran Datu Luwu dan dibawa dari Istana
Kedatuan ke Cimpu’ Bone.
Setelah berusaha merebut kembali “Sarung
Malea” dan tidak berhasil, maka Datu Luwu meminta bantuan Tomakaka Ne’ Malotong
untuk merebut kembali “Sarung Malea” tersebut. Tomakaka Ne’ Malotong pun
berangkat ke Cimpu’ seorang diri dan dengan menggunakan kesaktiannya
(menggunakan Lebah) berhasil membuat kocar-kacir pasukan Raja Bone dan merebut
kembali “Sarung Malea”. Setelah kembali ke Istana Kedatuan Luwu dan menyerahkan
“Sarung Malea” langsung kepada Datu, maka sejak saat itu Tomakaka Ne’ Malotong diberi gelar “Tanduk Matata’na Luwu”.
Pong
Lumombong (Tomakaka Ne’ Malotong) memiliki 4 (empat) orang
putra, masing-masing bernama :
1. Paewa Paty Ganna Tonge’Langi’ yang
kemudian populer disapa Tomakaka Paeva.
2. Karoro’ Junjungan Mala’bi’ yang
kemudian populer disapa Matua Tondok Ne’Karoro’.
3. Kujan Gandang Manurun, yang
kemudian populer disapa Pongngarong Ne’
Kujan.
4. Pekok Arrang Langi’ Rinding Matoto’ yang
kemudian populer disapa To Siaja’ Ne’
Pekok. Yang kemudian dikukuhkan sebagai Tomakaka Kanandede, setelah ketiga kakaknya keluar meninggalkan
Kanandede.
II. ASAL
– USUL TO PADANG, TO BALONG, TO POHONEANG, DAN TO HOYANE.
Dalam penjejakan wilayah sesuai petunjuk
ayahnya (Pontoala), Tomakaka Ne’
Malotong menyusuri hutan bagian Utara dan Barat. Disuatu hamparan hutan
sebelah atas Tambolang, Ne’ Malotong menemukan seorang anak tanpa ayah dan ibu
yang hidup sendirian di Hutan Belantara. Tomakaka Ne’ Malotong pun membawa
serta anak tersebut, dan karena melihat telapak tangan anak tersebut berbulu,
maka Ne’ Malotong memberinya nama “Hulu
Palak”.
Dalam perjalanan kehidupannya bersama Tomakaka
Ne’ Malotong, Hulu Palak banyak
mendatangkan masalah. Banyak harta Tomakaka Ne’ Malotong yang habis tidak jelas
peruntukannya, bahkan Ne’ Malotong berhutang sampai ke Tana Toraja tanpa
sepengetahuannya karena ulah dari Hulu Palak. Setelah hutang Tomakaka Ne’
Malotong lunas dan beliau menyadari bahwa kehadiran Hulu Palak membawa banyak
masalah, maka Ne’ Malotong memutuskan untuk membawa kembali Hulu Palak ke
tempat asalnya di Hutan.
Akhirnya Tomakaka Ne’ Malotong membawa dan meninggalkan
Hulu Palak hidup sendiri di Hutan. Dalam perjalanan hidupnya, Hulu Palak bertemu seseorang yang
sering mengantarkan makanan kepadanya yang juga hidup sendiri dalam hutan
tersebut (To Membuni). Setelah
mereka tumbuh dewasa bersama, akhirnya Hulu Palak berkeinginan untuk kembali ke
Kanandede dengan maksud agar dapat membina keluarga dan mempunyai keturunan. Tanpa
disadari, ternyata orang yang bersama Hulu Palak hidup selama ini di Hutan
adalah seorang perempuan, dan setelah orang itu mengatakan kepada Hulu Palak
kalau ia sebenarnya adalah seorang perempuan, maka Hulu Palak pun mengurungkan
niatnya untuk kembali ke Kanandede dan membina rumah tangga bersama perempuan
tersebut. Mereka tinggal menetap bersama didalam hutan sebelah atas Tambolang
Sungai Betue. Setelah berlangsung beberapa tahun, merekapun memiliki beberapa
orang putra, yaitu : Anak pertama diberi nama “To Padang”, Anak kedua diberi nama “To Balong”, Anak ketiga diberi nama “To Pohoneang” dan Anak keempat diberi nama “To Hoyane”.
Setelah keempat putra Hulu Palak tumbuh dewasa, maka merekapun masing-masing membina
rumah tangga. To Padang menikah
dengan seorang perempuan dari Kulawi Sulawesi Tengah, sedangkan ketiga adiknya,
yaitu To Balong, To Pohoneang, dan To Hoyane menikah dengan perempuan dari
Pulio dan Aralle Mamuju.
Setelah mereka masing-masing berkembang, maka
terbentuklah suatu kelompok Masyarakat Adat, antara lain :
1. Masyarakat
Adat To Padang, yang meliputi Hono, Turong dan Lodang. Yang dianggap sebagai
Orang Tua atau Yang Dituakan dalam Kampung, diberi nama “Tobara”.
2. Masyarakat
Adat To Balong, yang akhirnya berubah nama kampung menjadi To Amballong,
meliputi Masyarakat Adat Amballong, Sae, dan Lambiri.
3. Masyarakat
Adat Pohoneang, yang kemudian berubah nama Kampung menjadi To Pewanean,
meliputi Kalaha, Longa, Poak-Poak dan Pokkapaang. Dan sekarang bertambah
Poyehaang.
4. Masyarakat
Adat To Hoyane, yang meliputi Pattahe dan Katuhoan. Dipimpin oleh seorang
“Tobara”.
Keempat wilayah adat tersebut merupakan
wilayah kekuasaan Tomakaka Ne’ Malotong di Kanandede sampai ke G. Sandapang dan
Aralle (Polmas).
III. Asal
– Usul Seko Lemo
A. (Perpindahan
Tomakaka Ne’ Paewa beserta kedua adiknya dari Kanandede ke Buntu Manyaman
(Beroppa).
Dalam kisah perjalanan Tomakaka Pontoala’ pulang dari Mamuju hendak kembali ke Kanandede,
beliau sempat singgah dan bermalam di Kalaha. Pada suatu malam Tobara Kalaha memohon bantuan kepada Tomakaka Pontoala’ agar dapat
menyelamatkan masyarakatnya dari serangan Orang Kalumpang yang saat itu sudah
berada di Hoyane. Saat itu juga Tomakaka
Pontoala’ bersama pengawalnya berangkat menjemput musuh ke Sungai Betue.
Tak lama kemudian mereka pun kembali dengan kemenangan sambil membawa beberapa
Kepala Pimpinan penyerang dari Kalumpang dan mengatakan bahwa sudah aman.
Keesokan harinya Tomakaka Pontoala’ bersama
pengawalnya kembali ke Kanandede sambil membawa bermacam-macam hadiah yang
disuguhkan oleh Tobara Kalaha.
Di Kanandede, Tomakaka Pontoala’ menceritakan semua kisah perjalanannya dalam
memperluas wilayah kepada keempat cucunya, yakni Paewa, Karoro, Kujan dan
Pekok, namun pada saat itu Pekok masih sangat kecil karena merupakan anak
bungsu.
Dalam berkisah kepada cucu-cucunya, Tomakaka Pontoala’ memberikan suatu
amanah kepada Paewa, Karoro’ dan Kujan untuk dilaksanakan, yaitu bahwa
“Selama dalam perjalanan ke daerah Mamuju, ada ditemukan satu daerah dimana terdapat biji besi yang sakti, yakni “Besi
Porreo, Ta’tite’ka, Tulak Langi dan Besi
yang berlapa, dan jika lapanya ditiup ke arah musuh, maka musuh akan mati”. Secara khusus hal ini disampaikan
kepada Paewa sebagai putra sulung,
dan Tomakaka Pontoala’ berpesan
bahwa : “Suatu saat nanti kalau saatnya tiba, kau paewa membawa kedua adikmu,
yakni Karoro’ dan Kujan untuk mencari lokasi daerah
dimana ditemukan biji besi sakti tersebut, dan kalian harus tinggal menetap di
tempat itu. Kalau adikmu Pekok karena
masih kecil, biar saja tetap tinggal di Kanandede”.
Setelah keempat putra Tomakaka Ne’ Malotong dewasa dan masing-masing membina rumah
tangga, maka mereka diberi Jabatan Adat (Gelar Kebangsawanan) dan dikukuhkan
(Dipatongko) sesuai adat yang berlaku di Kanandede saat itu.
1. Paewa diangkat dan dikukuhkan menjadi Tomakaka Kanandede menggantikan
ayahnya,
2. Karoro’ diangkat dan dikukuhkan menjadi
Matua Tondok Kanandede,
3. Kujan diangkat dan dikukuhkan menjadi Pongngarong Kanandede,
4. Pekok diangkat dan dikukuhkan menjadi To Siaja’ Kanandede.
Dalam perjalanannya, terjadi banyak
permasalahan yang disebabkan karena ulah Pekok
yang selalu membuat masalah dalam Kampung karena merasa iri kepada kakaknya
(Karoro’). Hingga suatu ketika Tomakaka Paewa memanggil kedua adiknya,
yaitu Matua Karoro’ dan Pongngarong Kujan untuk berencana
meninggalkan Kanandede karena mengingat amanah dari Almarhum Nenek mereka (Tomakaka Pontoala’). Tomakaka Paewa menyampaikan
kepada kedua adiknya bahwa : “Ada amanah
dari Almarhum Nenek Tomakaka Pontoala’ bahwa
dalam perjalanan memperluas wilayah kekuasaan, almarhum menemukan suatu tempat
dimana ditemukan Biji Besi yang sangat sakti, dan almarhum Tomakaka Pontoala menyuruh kita untuk mencari lokasi tersebut dan
membuat pemukiman baru”.
Setelah rencana Tomakaka Paewa bersama kedua adiknya itu tersebar di Kampung
Kanandede, para orang tua dan keluarga, termasuk Paman mereka (Adik dari Tomakaka Ne’ Malotong bernama Ne’ Marura) melarang mereka untuk
meninggalkan Kanandede. Tetapi pada akhirnya Tomakaka Paewa bersama kedua adiknya dengan membawa serta istri dan
anak-anak mereka, pergi keluar meninggalkan Kanandede.
Awalnya Tomakaka
Paewa bersama kedua adik dan keluarga mereka berangkat berjalan menuju
Utara sehingga tiba di Lodang. Tobara
Lodang bersama Tokoh-Tokoh Masyarakat merasa gembira menerima kedatangan
rombongan Tomakaka Paewa dan
keluarga, hingga Tobara Lodang meminta
agar Tomakaka Paewa mau tinggal
menetap di Lodang. Namun Tomakaka Paewa menjawab
: “Tidak, kalau kami tinggal disini,
masih kelihatan asap api dari adik kami Pekok
di Kanandede. Kami akan meneruskan perjalanan sampai menemukan tempat yang
ditunjukkan oleh Almarhum Nenek Tomakaka
Pontoala”.
Akhirnya Tomakaka
Paewa bersama keluarga melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Betue dan
mereka pun tiba di Amballong. Tobara
Amballong bersama masyarakat menyambut dengan gembira kedatangan rombongan Tomakaka Paewa. Dan sama halnya seperti
di Lodang, Tobara Amballong pun
meminta agar Tomakaka Paewa mau
tinggal menetap di Amballong dengan asumsi bahwa daerah Amballong juga
merupakan daerah kekuasaan Almarhum Tomakaka
Kanandede Pontoala’. Tetapi Tomakaka
Paewa kembali menolak tawaran tersebut.
Kemudian Tomakaka
Paewa dan rombongan meneruskan perjalanan hingga tiba di Kalaha, dan mereka
pun disambut dengan gembira oleh Tobara
To Maloppo (Pommarissa) bersama Tua-Tua Kampung. Tobara To Maloppo pun meminta agar Tomakaka Paewa mau tinggal menetap di Kalaha, dengan pertimbangan
bahwa daerah atau tanah ini milik kekuasaan Tomakaka Pontoala’ dari Kanandede yang adalah Nenek dari Tomakaka Paewa sendiri. Akhirnya Tomakaka Paewa bersama adik-adik dan
keluarga mereka, tinggal beberapa lama di Kalaha.
Pada suatu waktu, Tomakaka Paewa berbicara dengan To Maloppo dan menyampaikan keinginannya bahwa mereka tidak dapat
tinggal bersama To Maloppo di
Kalaha, dengan pertimbangan bahwa berbeda adat istiadat dan budaya antara Pa’ Tobarasan dengan Pa’ Tomakakaan. Akhirnya Tomakaka Paewa bersama keluarga keluar
dari Kalaha dan memilih tempat di daerah “Ruru”
(Ero-Ero) untuk tempat pemukiman. Setelah beberapa lama di Ero-Ero, ternyata hasil
pertanian kurang baik (tanah tidak subur), sehingga Tomakaka Paewa dan keluarga menyeberangi Sungai Uro dan menemukan
satu lokasi yang mereka anggap cocok untuk pertanian karena tanahnya subur.
Maka mereka pun tinggal di sebelah Sungai Uro. Mereka tinggal di lokasi
tersebut beberapa waktu lamanya karena hasil pertanian cukup bagus, bahkan
mereka menanam jenis buah-buahan, antara lain pohon jeruk (Lemo). Jeruk di
lokasi tersebut berbuah sangat lebat dan banyak, sehingga tempat atau lokasi
itu diberi nama “Lemo”.
Selama di Lemo, Tomakaka Paewa bersama kedua adiknya selalu mencari lokasi biji
besi yang dimaksud oleh Almarhum leluhur mereka. Akhirnya mereka pun bergeser menyusuri
Sungai Uro dan menemukan satu tempat dimana terdapat muara sungai kecil dengan
sungai Uro. Mereka beranggapan bahwa tempat tersebut cukup layak untuk
pemukiman, maka mereka pun tinggal di lokasi tersebut yang kemudian diberi nama
“Kariango”.
Setelah beberapa lama berdomisili di
Kariango, kemudian mereka berpindah ke lokasi yang lebih tinggi (Ketinggian)
yang bernama ”Buntu”. Beberapa lama
kemudian berpindah ke “Po’etengan”.
Dalam proses perpindahan dari beberapa
lokasi, mulai dari Ero-Ero, Lemo,
Kariango, Buntu dan Po’etengan, Tomakaka Paewa bersama
adik-adiknya selalu mencari lokasi tempat Biji Besi Sakti sesuai petunjuk dari
leluhur mereka Almarhum Tomakaka
Pontoala’. Dalam proses pencarian Biji Besi tersebut, suatu ketika mereka
naik ke Puncak Gunung sambil memandang ke sekelilingnya. Mereka melihat G.
Sandapang, G. Tirobali, G. Malimongan dan G. Pottali, sehingga mereka
berpendapat bahwa pemandangan diatas puncak tersebut sangat menyenangkan dan
nyaman. Akhirnya mereka memberi nama Puncak Gunung tersebut ”Buntu Manyaman”, dan mereka pun
tinggal menetap di tempat itu.
Setelah tinggal menetap di Buntu Manyaman,
akhirnya Tomakaka Paewa dan
adik-adiknya menemukan lokasi tempat Biji Besi yang kemudian diberi nama “Pebatuan”. Mereka pun mulai menggali
Biji Besi dan mengelolanya menjadi senjata perang berupa Tombak, Pedang, Keris,
badik dan berupa-rupa peralatan pertanian. Tomakaka
Paewa dan adik-adiknya bersama masing-masing keluarga mereka, tinggal
menetap di Buntu Manyaman dan hidup bercocok tanam dengan membuka persawahan,
perkebunan dan lain-lain. Sampai akhirnya mereka berkembang dan beranak cucu
serta memperluas wilayah kekuasaan dan nama Kampung Buntu Manyaman diganti
dengan nama “Beroppa”.
Ketika Tomakaka
Paewa dan adik-adiknya telah hidup berkembang dan memiliki anak – cucu,
maka suatu ketika Tomakaka Paewa memanggil
kedua adiknya dan menyampaikan niatnya untuk membeli tanah dari Tobara Kalaha dan Tobara Kalumpang sebagai bukti kepemilikan. Dengan pertimbangan
bahwa mereka telah memiliki anak – cucu dan hidup sebagai satu kelompok
masyarakat, sehingga menghindari pandangan atau pendapat yang mengatakan bahwa
mereka adalah pendatang (To ratu-ratu, to merapi-rapi). Walau sebenarnya tanah
tersebut adalah daerah kekuasaan nenek mereka dari Kanandede (Tomakaka
Pontoala’), namun tetap saja menjadi milik dari Tobara Kalaha.
Setelah Tomakaka
Paewa dan kedua adiknya telah bersepakat, maka Tomakaka Paewa pergi ke Kalaha menemui Tobara To Maloppo (Pommarissa), meminta supaya diberikan tanah sekitar
Sore, Ruru sampai ke Tabembeng dan Buntu Barada untuk dibeli. Tawar menawar pun
terjadi sampai akhirnya keduanya sepakat dan Tobara To Maloppo Kalaha pun menjual tanah ke Tomakaka Paewa dengan bayaran Puluhan
Ekor Kerbau, dan batas-batasnya yaitu dari Hombarang, Silli, Sadang Bangke’ (Ero-Ero), turun ke Sungai Ruru sampai ke Sungai Uro dan mengikuti Sungai Uro
naik ke G. Berada, terus ke G. Osing, G. Tabembeng, G. Po’ Pinjan, dan terus ke Hulu Sungai Sae (G. Takalak).
Kemudian Tomakaka
Paewa melakukan transaksi jual beli tanah dengan Tobara Kalumpang, yang batas-batasnya mulai dari Muara Sungai Uro dengan Salu Tandi’an, mengikuti Salu Tandi’an
kemudian ke G. Ba’ San, Salu Bua Kaju, terus
ke Salu Masoso, Lentenan Ratu, Salu Tipa’dua,
G. Tirobali, G. Pendarangan, G. Po’Rumengan,
kemudian mengikuti Sungai Uro. Sesuai
kesepakatan, Tomakaka Paewa membayar
tanah tersebut ke Tobara Kalumpang dengan
Alat-alat Pertanian dan Alat-alat Perang berupa Tombak, Pedang,
Keris, dan Bulia beserta Busur atau Anak Panah. Setelah Tomakaka Paewa resmi membeli tanah-tanah tersebut, maka masyarakat
mulai membuka perkebunan Kopi antara lain ke Rantedanga, Kasimpo, Uro, dan
Pa’Lo’Pok. Kemudian membuka Persawahan ke Rante, Lemo, Lisu dan Porrano,
kemudian ke Po’Bangka, Ruru, Manipa dan
sekitarnya.
Dalam transaksi jual beli tanah yang
dilakukan oleh Tobara Kalaha dan Tobara Kalumpang kepada Tomakaka Paewa, terdapat permintaan
khusus dari kedua Tobara kepada Tomakaka Paewa, yaitu:
1. Jika
suatu saat terjadi salah satu wilayah Pa’Tobarasan
diserang musuh, maka Tomakaka Paewa harus
membantu
2. Tobara Kalumpang dan Tobara Kalaha harus menjalin hubungan persaudaraan
yang harmonis dengan Tomakaka Paewa, tidak
boleh saling menyerang (berperang), kecuali ada hal-hal yang tidak dapat
dihindarkan lagi.
Demikian proses perjalanan
dan perpindahan Tomakaka Paewa beserta
kedua adiknya, yaitu Matua Tondok Karoro’
dan Pongngarong Kujan, bersama
istri dan keluarga masing-masing, yang akhirnya hidup berkembang dan
beranak-cucu membentuk suatu kelompok masyarakat adat sendiri di Beroppa.
B. Leluhur dari Lemo Tua.
Setelah Tomakaka
Paewa resmi memiliki dan menguasai satu wilayah, kemudian datang seorang
laki-laki sambil menggendong kedua putranya. Laki-laki tersebut adalah Ne’ Kosse (Po’ Tumoto) dari Kampung
Pasang, Lemo Tua, yang merupakan cucu dari Puang
Lalong. Kedua putra yang digendongnya bernama Karamammang dan Kalamoso.
Ketika kedua putra dari Po’ Tumoto (Karamammang dan Kalamoso)
tumbuh dewasa, mereka masing-masing menikah dengan cucu dari Tomakaka Paewa dan Pongngarong Kujan.
Perkawinan antara turunan dari Tomakaka Paewa (Kanandede) dengan turunan
dari Po’ Tumoto (Lemo Tua),
menghasilkan keturunan (anak – cucu) yang terus berkembang dan merupakan asal
usul dari orang Seko Lemo. Kemudian dalam perjalanannya datang leluhur dari “Buka”
bernama "Ne’ Rimba” yang juga
melakukan perkawinan dengan keturunan dari Tomakaka
Paewa dan Po’ Tumoto, dan terus
berkembang beranak – cucu hingga membentuk suatu komunitas masyarakat adat Seko
Lemo.
Demikian
sejarah singkat tentang asal usul orang Seko yang dapat penulis kisahkan berdasarkan
kisah sejarah orang Seko yang didapatkan dari sumber-sumber sejarah yang ada. Jika
terdapat kekurangan-kekurangan didalamnya, mohon dimaafkan.
Sumber
sejarah berdasarkan keterangan dari :
1. Alm.
Tanete (Ambe’ Kamandi)
2. Alm.
Indo’ Mabora
3. Alm.
Memmora (Ambe’ Bambalu)
4. Alm.
Takudo (Ambe’ Lembeh)
5. Alm.
Kale’ (Ambe’ Paroko)
6. Alm.
Ambe’ Putang
7. Alm.
Ambe’ Balatung
8. Alm.
Ambe’ Ruttu
9. Alm.
Pindah (Ambe’ Buapa)
10. Alm.
Kandaure (Ambe’ Simin)
11. Alm.
Ambe’ Rumae
12. Alm.
Metang (Ambe’ Rupiah)
13. Alm.
D. Pakondongan (Tomakaka Rongkong)
14. B.
Tandi Paewa, SH. MH. (Tomakaka Beroppa)