Senin, 25 Mei 2015

SEJARAH SEKO (ASAL – USUL ORANG SEKO)



SEJARAH SEKO
(ASAL – USUL ORANG SEKO)




I.     KANANDEDE
Pada awalnya, Puang Tanduk Pirri’ berangkat dari Hulu Sungai Sa’dan turun ke Tanah Luwu dan tinggal di Lemo tua, tepatnya kampung “Pasang”. Puang Tanduk Pirri’ menikah dengan seorang perempuan dari Kerajaan Bua (saudara perempuan Raja Bua, bernama ……………). Setelah beberapa tahun tinggal di Pasang Lemo Tua, Puang Tanduk Pirri’ mendirikan sebuah rumah Tongkonan yang diberi nama “Tongkonan Kadinginan”.
Bahwa dari Tongkonan Kadinginan, lahir 2 (dua) orang putra, masing-masing bernama :
1.  Puang Lalong

2.  Arung Langi’
Setelah Lalong dewasa, menikah dengan seorang perempuan bernama …………, saudara perempuan dari (Pajung Luwu), yang kemudian melahirkan anak:
1.  Lalo’Lalo’

2.  Sendana Lalong.
Setelah kedua putra Lalong dewasa, masing-masing menikah. Lalo’Lalo’ menikah dengan perempuan bernama …………. dan bertempat tinggal di Patila, menguasai Wilayah bagian Timur, Wilayah Tenggara dan bahagian Wilayah Utara. Sedangkan Sendana Lalong menikah dengan seorang perempuan bernama …………., saudara perempuan dari Patti Ware’ Dg. Parabbung (Pajung Luwu XIV), dan menguasai Wilayah Selatan, Barat dan sebahagian Wilayah Utara.
Dalam kisah perjalanannya, dimasa perang Kerajaan, Lalong sangat berjasa bagi keutuhan wilayah Kedatuan Luwu, dimana Lalong berhasil mengalahkan Raja Tompo Tika’ Luwuk Banggai yang bernama Tariando beserta pengawalnya Sipantu’ sehingga berhasil merebut kembali sebahagian wilayah Tanah Luwu yang telah dikuasai oleh Raja Tompo Tika’ Luwuk Banggai tersebut. Atas jasa Lalong, Datu Luwu memberikan hadiah tanah yang luasnya ditentukan oleh Lalong sendiri dengan menggunakan sumpit (Bulia) beserta 3 (tiga) anak sumpit, dengan cara menyumpit ketiga arah dengan menggunakan kekuatan nafas. Anak sumpit pertama jatuh melewati daerah Rampi, anak sumpit kedua jatuh di Tenggara (Lasuak-suak), dan anak sumpit ketiga jatuh melewati Polmas.
Setelah Lalong meninggal dunia, anak-cucu masing-masing mendirikan wilayah kekuasaan dan mengembangkannya.
Anak sulung dari Sendana Lalong yang bernama Pontoala’ berusaha mencari tempat strategis untuk pertahanan karena mempertimbangkan perang Kerajaan yang masih tetap akan berlangsung. Pontoala’ bergeser dari G. Tarue’ ke Lena, kemudian beberapa lama di Lena lalu berpindah ke Buka, dan akhirnya berpindah ke Kanandede.
Setelah mendirikan kampung Kanandede, keluarga Pontoala’ berkembang dan memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke G.Sandapang, Aralle daerah Mamuju. Pontoala’ menikah dengan seorang perempuan bernama ………… dan memiliki 2 (dua) orang putra. Anak pertama bernama Pong Lumombong yang kemudian populer disapa Ne’ Malotong karena semua kuku jari, kaki dan lidah berwarna hitam. Sedangkan anak kedua bernama Ne’ Marua.
Setelah Pong Lumombong (Ne’ Malotong) menikah, beliau diangkat dan dikukuhkan sebagai Tomakaka Kanandede, dan beliau pun memperluas wilayah kekuasaannya. hingga kemudian perang Kerajaan kembali pecah. Dimana Raja dari Tompo Tika’ Luwu Banggai kembali menyerang ke Luwu sesuai perjuangan leluhurnya terdahulu yaitu Raja Tompo Tika’ Tariando. Dalam perang tersebut, Tomakaka Ne’ Malotong memimpin pasukan dan berhasil memenangkan peperangan dan mempertahankan keutuhan wilayah Luwu hingga beliau pun kembali ke Kanandede.
Pada zaman Tomakaka Ne’ Malotong, Luwu belum mempunyai seorang Raja karena kalah perang, sehingga Tomakaka Ne’ Malotong mengusulkan kepada Raja-Raja di Sulawesi Selatan agar Raja Luwu dapat diangkat dan dikukuhkan kembali, karena sudah 7 (tujuh) generasi Luwu tidak memiliki Raja. Atas usulan Tomakaka Ne’ Malotong tersebut, maka Raja-Raja di Sulawesi Selatan berkumpul dan membicarakan hal ini dan bersepakat mengabulkan usulan Tomakaka Ne’ Malotong, dengan memberikan 3 (tiga) persyaratan kepada beliau.
1.    Memasak Balajan (sejenis tanaman liar yang merambat dan biasa dijadikan tali) menjadi daging yang utuh
2.    Memasak Tanduk Kerbau menjadi daging
3.    Mengetahui jumlah biji Timun Dike’ (mentimun/bonte).
Tomakaka Ne’ Malotong pun berhasil memenuhi ketiga persyaratan tersebut dan akhirnya diangkatlah Datu Luwu yang baru sehingga kerajaan Luwu pun kembali memiliki Raja dan Tomakaka Ne’ Malotong kembali ke Kanandede.
Selama kepemimpinan Datu Luwu yang baru, terjadi pergolakan dalam keluarga Kerajaan, dimana salah seorang saudara Datu berkhinat dan memihak ke Raja Bone, sehingga Raja Bone berhasil merampas “Sarung Malea” yang merupakan tanda kebesaran Datu Luwu dan dibawa dari Istana Kedatuan ke Cimpu’ Bone.
Setelah berusaha merebut kembali “Sarung Malea” dan tidak berhasil, maka Datu Luwu meminta bantuan Tomakaka Ne’ Malotong untuk merebut kembali “Sarung Malea” tersebut. Tomakaka Ne’ Malotong pun berangkat ke Cimpu’ seorang diri dan dengan menggunakan kesaktiannya (menggunakan Lebah) berhasil membuat kocar-kacir pasukan Raja Bone dan merebut kembali “Sarung Malea”. Setelah kembali ke Istana Kedatuan Luwu dan menyerahkan “Sarung Malea” langsung kepada Datu, maka sejak saat itu Tomakaka Ne’ Malotong diberi gelar “Tanduk Matata’na Luwu”.
Pong Lumombong (Tomakaka Ne’ Malotong) memiliki 4 (empat) orang putra, masing-masing bernama :
1.  Paewa Paty Ganna Tonge’Langi’ yang kemudian populer disapa Tomakaka Paeva.
2.  Karoro’ Junjungan Mala’bi’ yang kemudian populer disapa Matua Tondok Ne’Karoro’.
3.  Kujan Gandang Manurun, yang kemudian populer disapa Pongngarong  Ne’ Kujan.
4.   Pekok Arrang Langi’ Rinding Matoto’ yang kemudian populer disapa To Siaja’ Ne’ Pekok. Yang kemudian dikukuhkan sebagai Tomakaka Kanandede, setelah ketiga kakaknya keluar meninggalkan Kanandede.

II.       ASAL – USUL TO PADANG, TO BALONG, TO POHONEANG, DAN TO HOYANE.

Dalam penjejakan wilayah sesuai petunjuk ayahnya (Pontoala), Tomakaka Ne’ Malotong menyusuri hutan bagian Utara dan Barat. Disuatu hamparan hutan sebelah atas Tambolang, Ne’ Malotong menemukan seorang anak tanpa ayah dan ibu yang hidup sendirian di Hutan Belantara. Tomakaka Ne’ Malotong pun membawa serta anak tersebut, dan karena melihat telapak tangan anak tersebut berbulu, maka Ne’ Malotong memberinya nama “Hulu Palak”.
Dalam perjalanan kehidupannya bersama Tomakaka Ne’ Malotong, Hulu Palak banyak mendatangkan masalah. Banyak harta Tomakaka Ne’ Malotong yang habis tidak jelas peruntukannya, bahkan Ne’ Malotong berhutang sampai ke Tana Toraja tanpa sepengetahuannya karena ulah dari Hulu Palak. Setelah hutang Tomakaka Ne’ Malotong lunas dan beliau menyadari bahwa kehadiran Hulu Palak membawa banyak masalah, maka Ne’ Malotong memutuskan untuk membawa kembali Hulu Palak ke tempat asalnya di Hutan.
Akhirnya Tomakaka Ne’ Malotong membawa dan meninggalkan Hulu Palak hidup sendiri di Hutan. Dalam perjalanan hidupnya, Hulu Palak bertemu seseorang yang sering mengantarkan makanan kepadanya yang juga hidup sendiri dalam hutan tersebut (To Membuni). Setelah mereka tumbuh dewasa bersama, akhirnya Hulu Palak berkeinginan untuk kembali ke Kanandede dengan maksud agar dapat membina keluarga dan mempunyai keturunan. Tanpa disadari, ternyata orang yang bersama Hulu Palak hidup selama ini di Hutan adalah seorang perempuan, dan setelah orang itu mengatakan kepada Hulu Palak kalau ia sebenarnya adalah seorang perempuan, maka Hulu Palak pun mengurungkan niatnya untuk kembali ke Kanandede dan membina rumah tangga bersama perempuan tersebut. Mereka tinggal menetap bersama didalam hutan sebelah atas Tambolang Sungai Betue. Setelah berlangsung beberapa tahun, merekapun memiliki beberapa orang putra, yaitu : Anak pertama diberi nama “To Padang”, Anak kedua diberi nama “To Balong”, Anak ketiga diberi nama “To Pohoneang” dan Anak keempat diberi nama “To Hoyane”.
Setelah keempat putra Hulu Palak tumbuh dewasa, maka merekapun masing-masing membina rumah tangga. To Padang menikah dengan seorang perempuan dari Kulawi Sulawesi Tengah, sedangkan ketiga adiknya, yaitu To Balong, To Pohoneang, dan To Hoyane menikah dengan perempuan dari Pulio dan Aralle Mamuju.
 Setelah mereka masing-masing berkembang, maka terbentuklah suatu kelompok Masyarakat Adat, antara lain :
1.  Masyarakat Adat To Padang, yang meliputi Hono, Turong dan Lodang. Yang dianggap sebagai Orang Tua atau Yang Dituakan dalam Kampung, diberi nama “Tobara”.
2.   Masyarakat Adat To Balong, yang akhirnya berubah nama kampung menjadi To Amballong, meliputi Masyarakat Adat Amballong, Sae, dan Lambiri.
3.   Masyarakat Adat Pohoneang, yang kemudian berubah nama Kampung menjadi To Pewanean, meliputi Kalaha, Longa, Poak-Poak dan Pokkapaang. Dan sekarang bertambah Poyehaang.
4.   Masyarakat Adat To Hoyane, yang meliputi Pattahe dan Katuhoan. Dipimpin oleh seorang “Tobara”.
Keempat wilayah adat tersebut merupakan wilayah kekuasaan Tomakaka Ne’ Malotong di Kanandede sampai ke G. Sandapang dan Aralle (Polmas).

III.   Asal – Usul Seko Lemo

A.   (Perpindahan Tomakaka Ne’ Paewa beserta kedua adiknya dari Kanandede ke Buntu Manyaman (Beroppa).


Dalam kisah perjalanan Tomakaka Pontoala’ pulang dari Mamuju hendak kembali ke Kanandede, beliau sempat singgah dan bermalam di Kalaha. Pada suatu malam Tobara Kalaha memohon bantuan kepada Tomakaka Pontoala’ agar dapat menyelamatkan masyarakatnya dari serangan Orang Kalumpang yang saat itu sudah berada di Hoyane. Saat itu juga Tomakaka Pontoala’ bersama pengawalnya berangkat menjemput musuh ke Sungai Betue. Tak lama kemudian mereka pun kembali dengan kemenangan sambil membawa beberapa Kepala Pimpinan penyerang dari Kalumpang dan mengatakan bahwa sudah aman. Keesokan harinya Tomakaka Pontoala’ bersama pengawalnya kembali ke Kanandede sambil membawa bermacam-macam hadiah yang disuguhkan oleh Tobara Kalaha.
Di Kanandede, Tomakaka Pontoala’ menceritakan semua kisah perjalanannya dalam memperluas wilayah kepada keempat cucunya, yakni Paewa, Karoro, Kujan dan Pekok, namun pada saat itu Pekok masih sangat kecil karena merupakan anak bungsu.
Dalam berkisah kepada cucu-cucunya, Tomakaka Pontoala’ memberikan suatu amanah kepada Paewa, Karoro’ dan Kujan untuk dilaksanakan, yaitu bahwa “Selama dalam perjalanan ke daerah Mamuju, ada ditemukan satu daerah dimana terdapat biji besi yang sakti, yakni “Besi Porreo, Ta’tite’ka, Tulak Langi dan Besi yang berlapa, dan jika lapanya ditiup ke arah musuh, maka musuh akan mati”. Secara khusus hal ini disampaikan kepada Paewa sebagai putra sulung, dan Tomakaka Pontoala’ berpesan bahwa : “Suatu saat nanti kalau saatnya tiba, kau paewa membawa kedua adikmu, yakni Karoro’ dan Kujan untuk mencari lokasi daerah dimana ditemukan biji besi sakti tersebut, dan kalian harus tinggal menetap di tempat itu. Kalau adikmu Pekok karena masih kecil, biar saja tetap tinggal di Kanandede”.
Setelah keempat putra Tomakaka Ne’ Malotong dewasa dan masing-masing membina rumah tangga, maka mereka diberi Jabatan Adat (Gelar Kebangsawanan) dan dikukuhkan (Dipatongko) sesuai adat yang berlaku di Kanandede saat itu.
1. Paewa diangkat dan dikukuhkan menjadi Tomakaka Kanandede menggantikan ayahnya,
2.  Karoro’ diangkat dan dikukuhkan menjadi Matua Tondok Kanandede,
3.  Kujan diangkat dan dikukuhkan menjadi Pongngarong Kanandede,
4.  Pekok diangkat dan dikukuhkan menjadi To Siaja’ Kanandede.
Dalam perjalanannya, terjadi banyak permasalahan yang disebabkan karena ulah Pekok yang selalu membuat masalah dalam Kampung karena merasa iri kepada kakaknya (Karoro’). Hingga suatu ketika Tomakaka Paewa memanggil kedua adiknya, yaitu Matua Karoro’ dan Pongngarong Kujan untuk berencana meninggalkan Kanandede karena mengingat amanah dari Almarhum Nenek mereka (Tomakaka Pontoala’). Tomakaka Paewa menyampaikan kepada kedua adiknya bahwa : “Ada amanah dari Almarhum Nenek Tomakaka Pontoala’ bahwa dalam perjalanan memperluas wilayah kekuasaan, almarhum menemukan suatu tempat dimana ditemukan Biji Besi yang sangat sakti, dan almarhum Tomakaka Pontoala menyuruh kita untuk mencari lokasi tersebut dan membuat pemukiman baru”.
Setelah rencana Tomakaka Paewa bersama kedua adiknya itu tersebar di Kampung Kanandede, para orang tua dan keluarga, termasuk Paman mereka (Adik dari Tomakaka Ne’ Malotong bernama Ne’ Marura) melarang mereka untuk meninggalkan Kanandede. Tetapi pada akhirnya Tomakaka Paewa bersama kedua adiknya dengan membawa serta istri dan anak-anak mereka, pergi keluar meninggalkan Kanandede.
Awalnya Tomakaka Paewa bersama kedua adik dan keluarga mereka berangkat berjalan menuju Utara sehingga tiba di Lodang. Tobara Lodang bersama Tokoh-Tokoh Masyarakat merasa gembira menerima kedatangan rombongan Tomakaka Paewa dan keluarga, hingga Tobara Lodang meminta agar Tomakaka Paewa mau tinggal menetap di Lodang. Namun Tomakaka Paewa menjawab : Tidak, kalau kami tinggal disini, masih kelihatan asap api dari adik kami Pekok di Kanandede. Kami akan meneruskan perjalanan sampai menemukan tempat yang ditunjukkan oleh Almarhum Nenek Tomakaka Pontoala”.
Akhirnya Tomakaka Paewa bersama keluarga melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Betue dan mereka pun tiba di Amballong. Tobara Amballong bersama masyarakat menyambut dengan gembira kedatangan rombongan Tomakaka Paewa. Dan sama halnya seperti di Lodang, Tobara Amballong pun meminta agar Tomakaka Paewa mau tinggal menetap di Amballong dengan asumsi bahwa daerah Amballong juga merupakan daerah kekuasaan Almarhum Tomakaka Kanandede Pontoala’. Tetapi Tomakaka Paewa kembali menolak tawaran tersebut.
Kemudian Tomakaka Paewa dan rombongan meneruskan perjalanan hingga tiba di Kalaha, dan mereka pun disambut dengan gembira oleh Tobara To Maloppo (Pommarissa) bersama Tua-Tua Kampung. Tobara To Maloppo pun meminta agar Tomakaka Paewa mau tinggal menetap di Kalaha, dengan pertimbangan bahwa daerah atau tanah ini milik kekuasaan Tomakaka Pontoala’ dari Kanandede yang adalah Nenek dari Tomakaka Paewa sendiri. Akhirnya Tomakaka Paewa bersama adik-adik dan keluarga mereka, tinggal beberapa lama di Kalaha.
Pada suatu waktu, Tomakaka Paewa berbicara dengan To Maloppo dan menyampaikan keinginannya bahwa mereka tidak dapat tinggal bersama To Maloppo di Kalaha, dengan pertimbangan bahwa berbeda adat istiadat dan budaya antara Pa’ Tobarasan dengan Pa’ Tomakakaan. Akhirnya Tomakaka Paewa bersama keluarga keluar dari Kalaha dan memilih tempat di daerah “Ruru” (Ero-Ero) untuk tempat pemukiman. Setelah beberapa lama di Ero-Ero, ternyata hasil pertanian kurang baik (tanah tidak subur), sehingga Tomakaka Paewa dan keluarga menyeberangi Sungai Uro dan menemukan satu lokasi yang mereka anggap cocok untuk pertanian karena tanahnya subur. Maka mereka pun tinggal di sebelah Sungai Uro. Mereka tinggal di lokasi tersebut beberapa waktu lamanya karena hasil pertanian cukup bagus, bahkan mereka menanam jenis buah-buahan, antara lain pohon jeruk (Lemo). Jeruk di lokasi tersebut berbuah sangat lebat dan banyak, sehingga tempat atau lokasi itu diberi nama “Lemo”.
Selama di Lemo, Tomakaka Paewa bersama kedua adiknya selalu mencari lokasi biji besi yang dimaksud oleh Almarhum leluhur mereka. Akhirnya mereka pun bergeser menyusuri Sungai Uro dan menemukan satu tempat dimana terdapat muara sungai kecil dengan sungai Uro. Mereka beranggapan bahwa tempat tersebut cukup layak untuk pemukiman, maka mereka pun tinggal di lokasi tersebut yang kemudian diberi nama “Kariango”.
Setelah beberapa lama berdomisili di Kariango, kemudian mereka berpindah ke lokasi yang lebih tinggi (Ketinggian) yang bernama ”Buntu”. Beberapa lama kemudian berpindah ke “Po’etengan”.
Dalam proses perpindahan dari beberapa lokasi, mulai dari Ero-Ero, Lemo, Kariango, Buntu dan  Po’etengan, Tomakaka Paewa bersama adik-adiknya selalu mencari lokasi tempat Biji Besi Sakti sesuai petunjuk dari leluhur mereka Almarhum Tomakaka Pontoala’. Dalam proses pencarian Biji Besi tersebut, suatu ketika mereka naik ke Puncak Gunung sambil memandang ke sekelilingnya. Mereka melihat G. Sandapang, G. Tirobali, G. Malimongan dan G. Pottali, sehingga mereka berpendapat bahwa pemandangan diatas puncak tersebut sangat menyenangkan dan nyaman. Akhirnya mereka memberi nama Puncak Gunung tersebut ”Buntu Manyaman”, dan mereka pun tinggal menetap di tempat itu.
Setelah tinggal menetap di Buntu Manyaman, akhirnya Tomakaka Paewa dan adik-adiknya menemukan lokasi tempat Biji Besi yang kemudian diberi nama “Pebatuan”. Mereka pun mulai menggali Biji Besi dan mengelolanya menjadi senjata perang berupa Tombak, Pedang, Keris, badik dan berupa-rupa peralatan pertanian. Tomakaka Paewa dan adik-adiknya bersama masing-masing keluarga mereka, tinggal menetap di Buntu Manyaman dan hidup bercocok tanam dengan membuka persawahan, perkebunan dan lain-lain. Sampai akhirnya mereka berkembang dan beranak cucu serta memperluas wilayah kekuasaan dan nama Kampung Buntu Manyaman diganti dengan nama “Beroppa”.
Ketika Tomakaka Paewa dan adik-adiknya telah hidup berkembang dan memiliki anak – cucu, maka suatu ketika Tomakaka Paewa memanggil kedua adiknya dan menyampaikan niatnya untuk membeli tanah dari Tobara Kalaha dan Tobara Kalumpang sebagai bukti kepemilikan. Dengan pertimbangan bahwa mereka telah memiliki anak – cucu dan hidup sebagai satu kelompok masyarakat, sehingga menghindari pandangan atau pendapat yang mengatakan bahwa mereka adalah pendatang (To ratu-ratu, to merapi-rapi). Walau sebenarnya tanah tersebut adalah daerah kekuasaan nenek mereka dari Kanandede (Tomakaka Pontoala’), namun tetap saja menjadi milik dari Tobara Kalaha.
Setelah Tomakaka Paewa dan kedua adiknya telah bersepakat, maka Tomakaka Paewa pergi ke Kalaha menemui Tobara To Maloppo (Pommarissa), meminta supaya diberikan tanah sekitar Sore, Ruru sampai ke Tabembeng dan Buntu Barada untuk dibeli. Tawar menawar pun terjadi sampai akhirnya keduanya sepakat dan Tobara To Maloppo Kalaha pun menjual tanah ke Tomakaka Paewa dengan bayaran Puluhan Ekor Kerbau, dan batas-batasnya yaitu dari Hombarang, Silli, Sadang Bangke’ (Ero-Ero), turun ke Sungai Ruru sampai ke Sungai Uro dan mengikuti Sungai Uro naik ke G. Berada, terus ke   G. Osing,   G. Tabembeng,          G. Po’ Pinjan, dan terus ke Hulu Sungai Sae (G. Takalak).
Kemudian Tomakaka Paewa melakukan transaksi jual beli tanah dengan Tobara Kalumpang, yang batas-batasnya mulai dari Muara Sungai Uro dengan Salu Tandi’an, mengikuti Salu Tandi’an kemudian ke G. Ba’ San, Salu Bua Kaju, terus ke Salu Masoso, Lentenan Ratu, Salu Tipa’dua, G. Tirobali, G. Pendarangan,   G. Po’Rumengan, kemudian mengikuti Sungai Uro. Sesuai kesepakatan, Tomakaka Paewa membayar tanah tersebut ke Tobara Kalumpang dengan Alat-alat Pertanian dan Alat-alat Perang berupa Tombak, Pedang, Keris, dan Bulia beserta Busur atau Anak Panah. Setelah Tomakaka Paewa resmi membeli tanah-tanah tersebut, maka masyarakat mulai membuka perkebunan Kopi antara lain ke Rantedanga, Kasimpo, Uro, dan Pa’Lo’Pok. Kemudian membuka Persawahan ke Rante, Lemo, Lisu dan Porrano, kemudian ke Po’Bangka, Ruru, Manipa dan sekitarnya.
Dalam transaksi jual beli tanah yang dilakukan oleh Tobara Kalaha dan Tobara Kalumpang kepada Tomakaka Paewa, terdapat permintaan khusus dari kedua Tobara kepada Tomakaka Paewa, yaitu:
1.  Jika suatu saat terjadi salah satu wilayah Pa’Tobarasan diserang musuh, maka Tomakaka Paewa harus membantu
2.  Tobara Kalumpang dan Tobara Kalaha harus menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis dengan Tomakaka Paewa, tidak boleh saling menyerang (berperang), kecuali ada hal-hal yang tidak dapat dihindarkan lagi.
Demikian proses perjalanan dan perpindahan Tomakaka Paewa beserta kedua adiknya, yaitu Matua Tondok Karoro’ dan Pongngarong Kujan, bersama istri dan keluarga masing-masing, yang akhirnya hidup berkembang dan beranak-cucu membentuk suatu kelompok masyarakat adat sendiri di Beroppa.

B.   Leluhur dari Lemo Tua.
Setelah Tomakaka Paewa resmi memiliki dan menguasai satu wilayah, kemudian datang seorang laki-laki sambil menggendong kedua putranya. Laki-laki tersebut adalah Ne’ Kosse (Po’ Tumoto) dari Kampung Pasang, Lemo Tua, yang merupakan cucu dari Puang Lalong. Kedua putra yang digendongnya bernama Karamammang dan Kalamoso.
Ketika kedua putra dari Po’ Tumoto (Karamammang dan Kalamoso) tumbuh dewasa, mereka masing-masing menikah dengan cucu dari Tomakaka Paewa dan Pongngarong Kujan.
Perkawinan antara turunan dari Tomakaka Paewa (Kanandede) dengan turunan dari Po’ Tumoto (Lemo Tua), menghasilkan keturunan (anak – cucu) yang terus berkembang dan merupakan asal usul dari orang Seko Lemo. Kemudian dalam perjalanannya datang leluhur dari “Buka” bernama "Ne’ Rimba” yang juga melakukan perkawinan dengan keturunan dari Tomakaka Paewa dan Po’ Tumoto, dan terus berkembang beranak – cucu hingga membentuk suatu komunitas masyarakat adat Seko Lemo.
 
Demikian sejarah singkat tentang asal usul orang Seko yang dapat penulis kisahkan berdasarkan kisah sejarah orang Seko yang didapatkan dari sumber-sumber sejarah yang ada. Jika terdapat kekurangan-kekurangan didalamnya, mohon dimaafkan.

Sumber sejarah berdasarkan keterangan dari :
1.      Alm. Tanete (Ambe’ Kamandi)
2.      Alm. Indo’ Mabora
3.      Alm. Memmora (Ambe’ Bambalu)
4.      Alm. Takudo (Ambe’ Lembeh)
5.      Alm. Kale’ (Ambe’ Paroko)
6.      Alm. Ambe’ Putang
7.      Alm. Ambe’ Balatung
8.      Alm. Ambe’ Ruttu
9.      Alm. Pindah (Ambe’ Buapa)
10.   Alm. Kandaure (Ambe’ Simin)
11.   Alm. Ambe’ Rumae
12.   Alm. Metang (Ambe’ Rupiah)
13.   Alm. D. Pakondongan (Tomakaka Rongkong)
14.   B. Tandi Paewa, SH. MH. (Tomakaka Beroppa)


2 komentar:

  1. makasih atas postingannya. salam dari Keluarga di kadinginan.

    BalasHapus
  2. Makasih infonya kak salam dari anak seko (seko lemo)

    BalasHapus